Salah satu tokoh yang berpengaruh dalam sejarah sosiologi adalah Karl Marx, yang bekerja sama dengan Friedrich Engels untuk menulis buku The Communist Manifesto pada 1848. Marx juga menulis Das Kapital, meski dua bab terakhirnya diteruskan oleh Engels karena Marx meninggal lebih dulu. Tuan-tuan Hakim, sempitnya tempo mengalang-alangi kami menguraikan dan membuktikan keadaan yang penting ini lebih luas, tetapi satu dua dalil dari bangsa Eropa yang terpelajar, tak bisa kami tinggalkan, misalnya dari Raffles, Prof. Tuan-tuan Hakim, Raffles adalah terkenal sebagai pembenci bangsa Belanda! Massa-actie zonder theorie kepada jang mendjalankannja, massa-actie zonder cursus-cursus, brochures dan suratsurat- chabar, adalah massa-actie jang tak hidup dan tak bernjawa,-massa-actie jang oleh karenanja, tak mempunjai kemauan, tak mempunjai wil. Tuan-tuan hakim, dengan pergaulan hidup yang demikian ini, dengan pergaulan hidup yang tiada kelas perusahaan besar ini, dengan pergaulan hidup yang hampir penuh dengan kaum kromo dan kaum marhaen saja ini, kami dari Partai Nasional Indonesia, yang selamanya berdiri diatas realiteit itu, kami harus menjalankan politik yang Kromoistis dan Marhaenistis pula. Banyak kaum nasionalis bangsa Indonesia, yang mengatakan, bahwa pergerakan Indonesia harus meniru pergerakan India dengan mengadakan pula boikot ekonomi atau swadeshi sebagai di India itu.
Kami mencoba menyusun-nyusun energi massa yang berjuta-juta itu, mencoba membelokkan energi segenap kaum intelektual Indonesia ke arah susunan massa ini; kami mencoba, -dan kami yakin akan bisa-, kami mencoba memberi keinsafan pada kaum intelektua Indonesia itu, bahwa di dalam kalangan massa inilah mereka harus terjun dan berjuang, di dalam kalangan massa inilah mereka harus mencari kekuasaan bangsa, – jangan lebih dulu hanya menjalankan politik “salon-salonan” saja, menggerutu sendiri-sendiri atau marahmarah di dalam kalangan sendiri saja. Sebab sistem imperialisme di Indonesia adalah dari sejak semulanya, dari zaman Kompeni sampai ke zaman cultuurstelsel, dari zaman cultuurstelsel, sampai ke zaman modern, merebut dan membasmi tiap-tiap perusahaan besar daripada rakyat kami dengan sulur-sulurnya dan akar-akarnya, mengalang-ngalangi dan membikin tidak bisa lebih hidup suatu perusahaan kerajinan atau industri atau onderneming Indonesia apa pun juga. Tidak bisalah kami mencoba mengalahkan imperialisme itu dengan mendesaknya ke luar dengan kekuatan persaingan ekonomi, tidak bisalah kami mencoba melemahkan dayanya dengan daya “self-containing” yang nasional-ekonomis sebagai di India itu. Kekuatan ini tentu sadja tidak bisalah kita besar-besarkan semau-mau kita. Tetapi ini hanjalah begitu, bilamana orang mempunjai kejakinan, bahwa ia adalah kekuatan dan kepandaian jang perlu untuk mentjapai upah itu. Tetapi hatsil-hatsil jang kekal dan langgeng-tidaklah bisa ditjapai kalau tidak ada kekuatan jang sebenarnja.
Tetapi orang bisa membesarkan hatsil-geraknja kekuatan-kekuatan jang ada, dengan mendjaga djangan sampai ada tenaga jang terbuang. Keadaan sekarang masih tetap mengalang-alangi timbulnya suatu kaum perusahaan besar di Indonesia, tetap “mengkromokan”, tetap, “memarhaenkan” di dalam tendensnya, – walau, dengan meminjam lagi perkataan Stokvis, “melalui jalan-jalan yang lebih sunyi”, “langs stillere wegen”. Keadaan sekarang tetap menunjukkan suatu pergaulan hidup tani kecil, pedagang kecil, pelayar kecil, segalanya kecil, beserta berjuta-juta kaum yang tak mempunyai suatu milik atau perusahaan sendiri yang bagaimana kecilnya pun, proletar, yang (terbawa oleh tendens imperialisme-modern yang menurut Prof. Ya, Tuan-tuan Hakim, menyuruh memeluk kromoisme, sebagaimana susunan pergaulan hidup Eropa menyuruh kaum sosialis memeluk proletarisme pula! Kini tinggallah perdagangan kecil belaka, pelayaran kecil belaka, pertukangan kecil belaka, pertania kecil belaka, ketambahan lagi milyunan kaum buruh yang sama sekali tiada perusahaan sendiri,- kini pergaulan hidup Indonesia itu hanyalah pergaulan hidup kekromoan dan kemarhaenan saja! Ia adalah suatu pergerakan jang bukan sadja menulis di dalam statutennja perkataan-perkataan “kemerdekaan Indonesia”,-ia adalah pula menuliskan di dalam statuten itu, “bekerdja untuk Indonesia merdeka”, dan mempunjailah pula daftar-usaha jang berisi matjam-matjam fatsal “perbaikan-hari-sekarang” itu tadi. Tetapi theorie itu bukan sadja membesarkan hatsil geraknja kekuatan kaum proletar,-ia adalah djuga membesarkan keinsjafan akan kekuatan itu, jakni membesarkan krachtsbewustszijn.
Kekuatan dan kekayaan Gereja yang begitu besar telah menimbulkan kebencian dari beberapa kelompok. Kalau tiada begitu susah seperti sekarang di bawah pemerintah Balatentara Jepang ini dia akan membawa teman baru ke “Seberang” itu. Sosiologi tidak muncul begitu saja, melainkan terdapat relasi sebab akibat yang sudah terjadi seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan manusia. Marilah sekarang kami menerangkan dengan singkat bagaimana geraknja machtsvorming itu, bagaimana machtsvorming itu mendjalankan aksinja. Actienja machtsvorming. Cursus dan “actie”. Tuan-tuan Hakim, kami sekarang sudah menerangkan wudjudnja machtsvorming P.N.I. Di manakah kami punya perusahaan besi dan kuningan? Di manakah sekarang kami punya pelayaran? Artinja, pergerakan kami adalah pergerakan, jang dalam pada usahanja mengedjar kemerdekaan, sudah pula berusaha mendatangkan perbaikan-perbaikan jang kiranja bisa tertjapai di dalam hari sekarang. Karakternja pergerakan kita adalah “nationale bevrijdingsbeweging èn hervormingsbeweging tegelijk”, jakni pergerakan jang berusaha untuk kemerdekaan Indonesia dan untuk perbaikan-perbaikan jang kiranja bisa tertjapaikan sekarang djuga. Indonesia sudah lebih dari 300 tahun menderitakan imperialisme itu, lebih dari 300 tahun dipengaruhi, diduduki, dieksploiteer oleh imperialisme,-dulu imperialisme-tua, kini imperialisme-modern.