Dengan lain perkataan: Kaum modal partikelir mempunyai kepentingan atas rendahnya tenaga produksi dan rendahnya tingkat pergaulan hidup kami, imperialisme-modern karena itu, mengalang-halangi kemajuan sistem sosial kami itu, imperialisme-modern karena itu suatu rem bagi kami punya kemajuan ekonomi sosial! Musnah, musnahlah kekayaan-kekayaan itu buat selama-lamanya bagi kami, musnahlah buat selama-lamanya bagi pergaulan hidup Indonesia, masuk ke dalam kantong beberapa pemegang andil belaka! Begitulah keadaan beberapa tahun yang lalu, Adakah keadaan sekarang berbeda? Lagi pula tuan-tuan Hakim, tidakkah pemerintah sendiri mengakui adanya “kekurangan kesejahteraan” itu, tidakkah pemerintah sendiri mengakui adanya “mindere welvaart” itu, tatkala pemerintah beberapa tahun yang lalu mengadakan “mindere welvaartscommissie” (komisi untuk menyelidiki kekurangan kesejahteraan). Tetapi kalau Madilog masih kekurangan bentuk, saya pikir dia tidak kekurangan sifat. Dan bukan saja keadaan itu “miring”, bukan saja ada “tidak seimbang” – tetapi (oleh sebab kelebihan-kelebihan ekspor itu makin lama makin besar), keadaan “miring” itu makin lama juga makin “miring”, “tidak seimbang” itu makin lama juga makin tidak seimbang!
Jikalau kita di zaman itu sudah melihat daya yang “memproletarkan”, yakni proletariseeringstendens dengan senyata-nyatanya, – bagaimanakah kerasnya proletariseeringstendens itu di zaman kita sekarang ini, di mana pengedukan kekayaan secara imperialistis itu makin lama makin mengaut, kapital asing makin lama makin bertambah banyak dan bertambah besar “shaktinya”! Itu bukan memberi harapan besar bagi hari kemudian! Tetapi bagaimana pergaulan hidup kami hari sekarang ini? Dan tidak kurang pula orang-orang Belanda lain yang mengakui keadaan ini pada zaman itu; Tuan Pruys v.d. Impor tekstil dari negeri Belanda ke sini bukanlah tekstil kualitet tinggi bukan tekstil untuk kaum wanita yang berupa bembergzijde, bukan kain wol yang hebat-hebat seperti bikinan Leincheser. Juga di sini kami bisa singkat kata. Kami sudah menerangkan, nyawa pembentukan kekuasaan kami, yakni nasioalisme. Yakni “physieke achteruitgang van menschen en vee”. Brooshooft bahwa rakyat terjerumus ke dalam “jurang”, sejak dengungnya suara van Kol yang mendakwa atas adanya “negeri-negeri yang tiada sumsum lagi”, atau “jajahan yang sengsara” atau “ kemuduran manusia dan ternak”, – sejak zaman itu tetaplah bangsa kami hidup “sekarang makan besok tidak”, tetaplah bangsa kami hidup dalam “jurang”, tetaplah bangsa kami hidup dalam “jajahan yang sengsara”!
Terutama van Kol tidak berhenti-hentinya membongkar keadaan-keadaan ini, tidak berhenti-hentinya membicarakan “negeri yang tiada sumsum lagi” atau “uitgemergelde gewesten” itu, tidak berhenti-hentinya menggambarkan nasib “jajahan sengsara” atau “noodlijdende kolonie” ini, tidak berhenti-hentinya menangiskan “kemunduran manusia dan ternak” itu. Bahwasanya, – drainage yang kami derita dengan tiada berhentinya itu, tak luput menunjukkan pengaruhnya, – imperialisme-modern tak luput menunjukkan kejahatan shakti-shaktinya! Kita tak boleh lupa, bahwa Indonesia Dayak umpamanya, tiada kurang kepandaian tentang besi dari bangsa manapun di Asia, sebelum diajar Eropa modern. Semangat mesti semangat orang merdeka yang mencari perubahan baik dan penjuru mesti sudut masyarakat Indonesia dan keperluan Indonesia, bukan semangat seorang Hussein Djajadiningrat, walaupun ia seorang “Prof”. Boeke, seorang yang toh bukan bolsyewik atau “penghasut”, – melainkan seorang ahli ekonomi yang ternama! Yang pertama kerjanya berburu atau menangkap ikan. Marilah kita juga ingat akan kenyataan, sebagai yang diterangkan oleh Prof. “Bangsa yang terdiri dari kaum buruh belaka” – amboi, dan berapa besarkah upah yang biasanya diterima oleh Kang Kromo atau Kang Marhaen itu!
Dalam sudut pandang definisi sosial, hakikat dari realitas sosial berbentuk keinginan dan tindakan individu yang sifatnya subjektif. Plato membahas tentang unsur sosiologi dalam bernegara, sedangkan Aristoteles membahas tentang etika sosial. Tokoh-tokohnya yaitu Plato (429-347 SM) dan Aristoteles (384-322 SM). Sebab kami mengerti: Tak baiklah rakjat mempunjai harapan jang kosong, dan kami tahu: kaum jang bentji pada pergerakan itu, sengadjalah uitbuiten kepertjajaan rakjat itu untuk membentjanai pergerakan, sengadja meng-exploiteer kepertjajaan rakjat itu untuk mentjobakan provocatie-provocatie jang rendah. Rakjat Indonesia sudahlah bersedia dengan hati jang memukul-mukul akan menghormati terbitnja matahari itu. Tuan-tuan hakim yang terhormat, tadi sudah kami buktikan dengan angka-angka, bahwa drainage Indonesia tidak makin surut, tidak makin kecil, melainkan makin besar, makin membanjir, mendahsatkan, bahwa kelebihan-kelebihan ekspor makin tak berhingga, – bahwa ketidakseimbangan makin menjadi tidak seimbang! Bagi siapa yang mau mengerti, maka tidak boleh tidak, drainage yang makin membanjir itu pasti berarti rakyat makin sengsara, pasti berarti rakyat itu, dengan perkataan Mr. Menurut Statistisch Jaaroverzicht: rata-rata hanya f 0,45 sehari bagi orang laki-laki dan f 0,35 sehari bagi perempuan! Turki menurut Halide itu memang menganggap dirinya sebagai “kaum protestan Islam” yang tak punya keinginan mengakui seseorang “kepala Agama”, sebagaimana kaum protestan Nasrani-pun tidak mau mengakui paus di kota Roma.